Namanya Tui, usianya 10 tahun. Dia gadis mungil yang cantik, terutama jika dia tersenyum. Bisa meluluhkan hati, manis sekali. Tapi yang mempesona hati ini bukanlah manis wajahnya, melainkan kepintaran dan sikapnya.
Jika kamu jalan-jalan ke Vietnam, tepatnya jika kamu ke Mui Ne, kamu bisa menemui dia di salah satu objek wisata cantik di sana, Red Sand Dunes (gurun pasir berwarna merah).
Siang hari itu, saya dan Kakilangit, sahabat saya, menapakkan kaki di hamparan pasir merah sambil terus menerus berdecak kagum. Baru beberapa meter kami berjalan, gadis mungil ini menghampiri kami sambil berucap menawarkan papan luncurnya, “Slider, Sir! Slider, Miss!”
Kami memang berencana untuk menyewa papan luncur dan meluncur di hamparan pasir Red Sand Dunes seperti yang direkomendasikan beberapa traveller setelah mereka berkunjung ke Mui Ne. Tapi tidak di 5 menit pertama kami datang menginjakkan kaki kami di sana. Hamparan pasir nan cantik itu menggoda kami untuk segera kami abadikan dalam kamera kami.
“Not now! We’ll try it later,” kami menggeleng, mencoba menolaknya dengan halus, mengingat pasti banyak yang akan menjajakan papan luncur itu nantinya.
“Okay. But make sure you rent the slider from me,” demikian balasnya.
“All right! What is your name by the way?”
“Tui!” ia mengucapkan namanya dengan mantap dan diakhiri dengan senyum yang mengembang di wajahnya.
Kami pun tersenyum dan melanjutkan perjalanan kami. Kami cukup terperangah dengan kemampuan berbahasa Inggrisnya yang bagus sekali dan kami langsung mempercakapkan hal itu dalam bahasa Indonesia tentunya. Masalahnya, di Vietnam tidak banyak yang bisa berbahasa Inggris dengan baik. Ketika kami bertemu dengan orang-orang di penginapan, rumah makan, atau di jalan, kosa kata bahasa Inggris mereka sangatlah terbatas.
Sambil kami berjalan, Tui rupanya mengikuti kami dari belakang. Ah, ternyata dia sangat gigih. Dia mengikuti kami supaya ketika kami ingin meluncur, dia akan ada di sekitar kami. Dan dia memang tidak mengganggu karena dia hanya jalan di belakang kami. Saya tersenyum. Saya tiba-tiba tergerak ingin meluncur saat itu juga dan bercakap-cakap dengannya lebih dalam.
“Okay, I want to try the sliding now, Tui! Where is the best place to do it?” tanya saya.
“Let me show you!” senyum di wajahnya kembali mengembang.
“Umm, how much is the rental cost?” saya hampir saja lupa menanyakannya.
“It’s up to you, Miss!”
Saya tertegun. Dia menjerat hati saya. Dia bukanlah seorang penjual atau penyewa yang memasang harga tinggi pada turis-turis sehingga memaksa kita untuk tawar-menawar tidak karuan.
Kami pun berjalan bersisian menuju tempat yang dia maksud. Sambil mengarah ke tempat kami meluncur, saya dan Kakilangit memegang kamera kami masing-masing untuk sesekali menjepret pemandangan indah di depan mata kami.
“Let me take a picture of you! Yes, both of you!”
tiba-tiba Tui dengan sikap beraninya menawarkan diri untuk mengambil foto kami berdua. Dan bukan kamera poket saya yang dia gunakan, melainkan kamera DSLR Kakilangit. Kami tidak berharap banyak akan hasilnya. Kami hanya menghargai spontanitas dan keberaniannya. Lagipula, lumayanlah kami jadi punya foto berdua. Tapi ternyata kami salah duga. Hasilnya memuaskan!
Tidak berhenti sampai di situ, ketika kami berjalan lagi, dia pun menawarkan diri lagi untuk memfoto-foto saya di titik tertentu dalam perjalanan kami. Bukan hanya menawarkan, tapi juga mengarahkan.
“I will make a picture which you are holding an island”
atau
“Just jump! 1…, 2…, 3…”
Saya senang sekali punya teman baru. Saya pun bertanya padanya bagaimana kemampuan bahasa Inggrisnya bisa begitu bagusnya. Dia bercerita bahwa dia memang mengambil pelajaran tambahan bahasa Inggris di luar sekolah. Saya yakin, dia pasti termasuk anak yang rajin bejajar.
Kami berjalan dan berjalan, lalu tiba-tiba dia memperhatikan kepala saya dan dia berujar lantang, “look, there’s a flower in your hair!”. Ya, saya saat itu memang sedang memakai ikat rambut berhiaskan bunga kamboja pemberian sahabat saya dari Bali. Saya kira, dia tertarik dengan ikat rambut saya, lalu saya pun menawarkan ikat rambut tersebut jika dia menginginkannya untuk menghiasi rambutnya yang panjang. Tapi ternyata dia menggeleng. Dia bukanlah tipe pengambil kesempatan. Begiu pula ketika saya menawarkan gula-gula (permen kelapa) padanya, dia hanya mengambil secukupnya sampai harus saya yang memaksa untuk mengambil lebih banyak lagi.
Dan setiap kali usai kami mengabadikan gambar dirinya, dia akan tersenyum dan mengucapkan “thank you” dengan wajah tersipu-sipu malu.
Ahh, saya rasa saya jatuh cinta pada Tui, si gadis papan luncur ini. Jatuh cinta pada kepintarannya, keberaniannya, kerendahan hatinya, sikapnya, santunnya, dan juga senyumnya.
“Slider, Sir! Slider, Miss!”
- Menikmati Perjalanan di Tasmania - 2016.01.31
- Banyak Jalan (Murah) Menuju Maladewa - 2015.05.30
- Doa untuk Nepal yang sedang berduka - 2015.04.26