Ini tidak dalam rencana besar kami. Awalnya setelah dari Pulau Komodo, kami ingin lebih lama tinggal di Labuan Bajo dan menyelam. Tapi setelah tinggal 2 hari 1 malam dalam kapal, sudah bertemu kerajaan bawah laut yang cantik rupawan dengan snorkeling di Pink Beach dan Kanawa, untuk pergi ke laut lagi dan menyelam lalu mencari teman barengan supaya kapal lebih murah harganya, rasanya tidak sanggup dulu untuk perjalanan kali ini.
Memutuskan untuk tidak menyelam, kami mencari-cari tempat kemana hati kami ingin menuju. Di dinding kamar di penginapan Golo Hilltop, terpajang foto Danau Kelimutu yang terpigura menawan. Kami pun mencari-cari tiket pesawat murah ke sana, Ende. Lagi-lagi Garuda berbaik hati memberikan promo penerbangan murah Labuan Bajo – Ende. Ende pun memanggil-manggil kami (kalo ga murah, suara Ende yang memanggil tidak mungkin terdengar, hehehe).
Siang hari kami berangkat dan sampai di siang menjelang sore di hari itu juga. Lama perjalanan hanya 30-40 menit. Bandara udara di Ende tidak kalah kecil dari Labuan Bajo. Dan sama-sama seru. Jika di Labuan Bajo sempat ada kejadian petugas bandara harus mengusir anjing dari landasan supaya pesawat bisa terbang, di Ende ada sirene supaya anak-anak kecil berhenti main bola di landasan dan berlari ke pinggir karena ada pesawat ingin mendarat.
Anak-anak kecil itu lucu-lucu. Mereka mengingatkan saya ketika saya masih kecil dan suka melambai-lambaikan tangan ke pesawat terbang. Lalu mereka sangat ramah terhadap pendatang. Banyak yang cantik anak-anak perempuannya. Cantik yang khas. Senang deh.
Sebenarnya di sekitar bandara banyak hotel-hotel yang dengan berjalan kaki pun bisa dicapai. Atau kamu bisa naik angkutan umum atau ojek yang murah-murah. Tapi karena kami kurang mencari tahu lebih banyak (ya, karena dadakan itu), kami sempat menggunakan jasa sewa mobil dari bandara yang mengantar-antar kami mencari-cari hotel yang sesuai. Tidak mengapa, marilah kita majukan ekonomi penduduk lokal.
Sore itu kami memutuskan untuk menyewa kamar penginapan di Hotel Safari. Hotel bergaya lama dan terasa seperti di rumah sakit bukan di hotel. Pelayanannya minimal, tapi memang penjaga dan orang-orangnya kurang membantu ketika kami mencari-cari info tentang penyewaan mobil/motor, info ke Kelimutu dsb. Untunglah ada internet. Kakilangit pun menyelidik lokasi Hotel Ikhlas, hotel paling direkomendasikan di Trip Advisor meski ratingnya rata-rata saja. Daaaann, ternyata Hotel Ikhlas hanya berjarak 20 meter dari lokasi hotel kami. Kakilangit sebagai suami sigap segera ke sana, memesan kamar untuk malam berikutnya, mencari-cari informasi yang kami butuhkan, dan menyewa motor dari sana untuk kami berputar-putar dan untuk ke Kelimutu esok harinya.
Kami pun menikmati sore hari di Ende dengan berputar-putar tanpa tahu arah dan hanya mengandalkan penduduk lokal dan plang hijau yang terbatas. Kota Ende kecil tapi cantik. Kota ini dikelilingi bukit-bukit hijau. Tujuan kami sore itu adalah Museum Bung Karno. Iya, yang kami tahu tentang Ende terbatas. Selain tahu bahwa itu tempat terdekat jika kami ingin melihat Kelimutu, yang kami tahu lagi tentang Ende bahwa Bung Karno, presiden favorit saya ini pernah diasingkan oleh Belanda di sini.
Dalam perjalanan ke Museum Bung Karno, kami dikejutkan dengan taman cantik yang ada patung Bung Karno sedang duduk sendirian di satu sisi tempat duduk panjang taman itu menatap ke kejauhan, ke tempat bukit menjulang di sisi barat. Ketika kami di sana, matahari hampir turun ke peraduan, tampak Bung Karno seperti sedang menikmati senja sambil merenungkan negeri tercinta. Ternyata tempat itu adalah Taman Renungan Bung Karno.
Di situ dikatakan banyak literatur tempat lahirnya butir-butir Pancasila. Bung Karno merenung dibawah pohon sukun yang memiliki daun bercabang lima yang kelak menjadi jumlah dasar Pancasila. Renungan tentang keberagaman agama dan kepercayaan di Indonesia juga ada di tempat ini. Entah benar atau tidak, tapi penggambaran sendirinya Bung Karno di tempat ini membuat saya jadi melankolis. Dia, Sang Bapak Bangsa, tidak pernah berhenti mencintai Indonesia dan rakyatnya di manapun dia berada.
Di taman ini juga ada tempat seperti panggung dan bangku penontonnya. Seingat saya di buku ‘Bung Karno Sang Penyambung Lidah Rakyat’ memang ketika di Ende Bung Karno sempat membuat beberapa pertunjukkan. Ah, dia memang tidak bisa diam, selalu berkreasi.
Kami juga ke Museum Bung Karno yang ternyata adalah rumah tempat tinggal ketika dia diasingkan. Namun hari sudah hampir malam, museum sudah tutup. Kami hanya bisa melihat dan mengabadikan dengan kamera dari luarnya saja. Di tempat ini juga ibu mertua Bung Karno, ibunya Inggit meninggal dunia. Huhuhu, sudah. Saya sedih kalau ingat Bung Karno, sang idola.
Ende yang cantik, Ende yang menarik. Banyak cerita bisa dipetik, terkadang hingga air mata menitik.
Disclaimer: Penulis adalah penggemar Bung Karno ๐
- Menikmati Perjalanan di Tasmania - 2016.01.31
- Banyak Jalan (Murah) Menuju Maladewa - 2015.05.30
- Doa untuk Nepal yang sedang berduka - 2015.04.26