Suatu hari di teras rumah Kaliurang kita nanti, mungkin di sore hari, aku akan bercerita kembali padamu tentang perjalanan kita menuju kota Santiago de Compostela. Tidak seberapi-api sekarang. Tapi dengan kebahagiaan yang sama. Meskipun kau tahu kisahnya, aku akan mengingatkanmu betapa kita menikmati setiap langkahnya, bersyukur kita memutuskan untuk melakukannya, dan tentu saja, yang kita rindukan setiap saatnya.
Dan ketika siluet gunung Merapi itu muncul di utara, aku akan akan bercerita tentang perjalanan yang mirip seperti mendaki gunung, perjalanan yang sesungguhnya adalah usaha kita untuk menaklukkan ego kita sendiri. Kamu tentu ingat saat kita berjumpa dengan ratusan peziarah di garis akhir, perjalanan ini mengajarkan kita untuk rendah hati, karena sebenarnya kita hanya dua titik tak berarti di ujung sebuah jalan kuno yang telah dilalui berjuta peziarah sebelum kita. Seperti kita di hadapan Merapi yang agung itu.
Atau tentang manusia-manusia yang kita jumpai. Aku akan berkisah tentang manusia-manusia dari seluruh dunia yang berbagi makanan, minuman, cerita dan perjalanan. Tentang perempuan di Gonzar yang membantu kita mencari penginapan di tengah malam. Bersentuhan dengan manusia-manusia yang saling menolong. Tentang persahabatan sesama peziarah yang tak mengenal umur, bahasa, dan ras. Atau kisah tentang para peziarah yang berbondong-bondong berjalan sejak pagi hari dalam sunyi.
Di sela sesapan kopi panas kita, aku akan mengingatkanmu tentang tas punggung kita. Bagaimana kita mengisi penuh dengan semua hal yang kita pikir kita butuhkan dan ternyata kita hanya memerlukan sedikit, dan akhirnya tas punggung itu menjadi beban. Lalu sedikit demi sedikit kita merelakan barang-barang itu, meninggalkan beban di belakang kita. Seperti tradisi tua para peziarah yang membawa batu sebesar dosa mereka lalu meninggalkannya di sepanjang Camino de Santiago.
Atau cerita di hutan selepas Portomarín, kita yang sudah kepayahan karena berjalan sejauh tiga puluh lima kilometer dalam sehari. Dan kita jatuh terduduk, kemudian saling bertanya, apa sebenarnya yang sedang kita lakukan, lalu tertawa dengan sisa tenaga setelahnya. Kenaifan kita memaknai sesuatu adalah kemewahan, begitu juga dengan semua waktu yang kita habiskan bersama.
Mungkin kamu akan tersenyum jika aku bercerita tentang rombongan peziarah yang kita temui di Arzúa. Bagaimana perjalanan ini menunjukkan bahwa kita sebenarnya tidak butuh banyak hal untuk menjadi bahagia. Ah, aku akan diam ketika senja datang. Aku akan berhenti bercerita. Membiarkanmu menikmati sinar jingga hangat yang menyentuh kulitmu yang mungkin sudah berkerut. Karena senja adalah salah satu dari hal-hal yang membuat kamu, dan aku, bahagia.
Ya, suatu hari aku akan bercerita padamu tentang perjalanan ini, meskipun kau sudah tau kisahnya. Because it is privilege to be called to the Camino with you; Camino to Santiago de Compostela and the great Camino of life.
- Visa Selandia Baru - 2016.02.10
- Suatu Hari Aku Akan Bercerita Tentang Perjalanan ini Padamu Meskipun Kamu Tahu Kisahnya - 2016.02.04
- Busker - 2016.01.31