Busker

Setelah lima menit bernyanyi, ia mulai berjalan dari depan sampai ujung belakang sembari menyodorkan kantong permen, berharap ada yang menjatuhkan selembar uang ke dalamnya. Sayang, tak ada yang bergeming di dalam Kopaja tujuan Blok M yang juga diam tak bergerak di kemacetan kota ini. Entah karena suara pengamen itu jelek, tak ada uang, tak suka atau tak peduli lagi.

Kan lebih baik saya ngamen, daripada saya nyolong, bang,” katanya malah bersesat pikir slippery slope. Lalu selembar uang itu tak jadi berpindah ke kantong permen, masuk lagi ke dalam saku. Jakarta kerap membuat penghuninya kehilangan rasa.

Pengamen, pemain musik jalanan, atau busker memang punya tempat dalam lemari kenangan kami. Mulai dari film favorit Once yang bercerita tentang mereka, ataupun dalam setiap kebergegasan kami ketika melakukan perjalanan-perjalanan, tak jarang kami bisa berhenti cukup lama untuk melihat mereka bernyanyi sesuka hati.

Dari pengamen akustik di Malioboro, penggesek biola di stasiun Kota, pemain akordion di metro Sorbonne, sampai konser mini di tengah musim dingin Højbro. Ya, grup busker Peter Jones & The Lazy Bandits di Højbro, Kopenhagen, Denmark termasuk deretan busker yang berhasil menghentikan langkah kaki kami. Peter Jones adalah veteran busker sejak tahun 1986 dan menulis lebih dari 250 lagu. Dalam setiap pertunjukannya, entah itu di jalanan atau festival, mereka selalu menyanyikan lagu-lagu ciptaannya sendiri dengan suka cita seorang pemusik jalanan.  Dan dalam musim dingin yang menggigil itu, kami dihangatkan oleh lagu-lagu yang mereka bawakan.

peter-jones
Peter Jones and Lazy Bandits, Deutschs Christmas Market, Copenhagen.

Atau pada sebuah warung makan di pinggir jalan Kaliurang lebih dari lima belas tahun yang lalu ketika bertemu dengan seorang busker bernama Peter Budiyatmo untuk pertama kali. Bukan suaranya yang bagus atau poninya mencolok yang membuat kejadian itu berkesan. Tapi karena ia datang lalu begitu saja menyanyikan lagu-lagu The Beatles, entah berapa banyak. Seperti Peter Jones di Kopenhagen, laki-laki yang mulai bermain musik di jalanan Yogya sejak 1990 ini memasukkan kebahagiaan khas seorang busker di setiap lagunya, bahagia karena ia bisa bernyanyi untuk orang-orang asing, mengetuk kemurahan hati siapa saja yang mendengarnya.

“Nanti dulu Mas, biar saya selesaikan lagunya,” katanya ketika saya berusaha memberi uang secukupnya. Lalu ia kembali meniup harmonika, memetik gitar, bergoyang canggung, dan bernyanyi lepas, dengan kacamata bulat mirip John Lennon yang membuatnya lebih dikenal dengan nama Pieter Lennon.

Pieter Lennon (sumber Vimeo)
Pieter Lennon (sumber Vimeo)

Pada perjumpaan itulah saya mengerti mengapa orang Jawa menyebut bekerja sebagai nyambut gawe, pekerjaan adalah sesuatu yang seharusnya disambut, diterima dengan senang hati. Bukan mengeluh dan menggerutu, apalagi ketika Senin datang.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

You can use markdown, yes that awesome markdown.

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.