Seandainya ada satu film yang harus saya tonton berulang-ulang tanpa harus menjadi bosan, film itu adalah Before Sunset dari Richard Linklater. Saya menyukainya sampai membuat saya ingin mengunjungi Paris. Saya menyukainya meskipun ia menjadi sebuah paradoks dari seri sebelumnya, atau bahkan dari tujuan kita menonton film.
Seperti kata Thomas Wartenberg, kita melihat film untuk melarikan diri dari dunia nyata. Kita ingin mengalami dunia yang benar-benar berbeda dari kehidupan sehari-hari, yang punya keriaan yang seperti hilang dari rutinitas harian kita. Before Sunset tidak menawarkan itu. Ia tak jauh berbeda dengan apa yang saya lihat dan alami dalam hidup sehari-hari.
Before Sunset bercerita tentang waktu yang hilang, protagonis yang hancur, pilihan-pilihan yang salah, orang-orang yang kalah, rasa frustrasi, kenangan dan penyesalan. Di kota Paris, Linklater memadamkan semua lampu-lampu romantis di pinggiran sungai Seine sebelum senja. Ia mendekonstruksi gagasan tentang romansa ideal.
Bagi saya Jesse dan Celine adalah pasangan yang tepat untuk satu sama lain. Tapi pilihan-pilihan yang mereka ambil dalam sembilan tahun sejak kenangan di Wina tak juga membuat mereka bersama. Setelahnya, pada pertemuan di sudut toko buku Shakespeare and Company, mereka seperti kucing Schrödinger, memiliki dan tidak memiliki segalanya pada satu waktu.
Ada sesuatu yang singgah ketika saya mencium bau kertas pada buku-buku yang disusun rapi di rak kayu yang tak begitu besar. Tak perlu menjadi penyuka film Before Sunset untuk jatuh cinta pada toko buku kecil di ujung jalan rue de la Bûcherie ini, because we all see the world through our own tiny keyhole.
“Oh, wow, maybe what I’m saying is the world might be evolving the way a person evolves. Right, I mean… me, for example Am I getting worse? Am I improving? I don’t know! When I was younger… I was healthier, but I was racked with insecurity. Now I’m older, my problems are deeper, but I’m… more equipped to handle them.” kata Jesse.
“So, what are your problems?” Celine bertanya.
“Right now? I don’t have any. I don’t. Just… damn happy to be here!”
“Me too.”
Pada sesapan kopi dan isapan rokok di Le Pure Café mereka berharap satu hari di Paris itu berlangsung selamanya. Jesse dan Celine yang sangat menginginkan saat-saat yang hilang itu kembali, namun waktu selalu menyelinap melewati mereka, detik demi detik, menjauh dari jangkauan mereka.
Ketika Celine bersenandung, “one single night with you, little Jesse, is worth a thousand with anybody. I have no bitterness, my sweet. Let me sing you, a waltz…” Jesse menyadari, waktu serta kenangan adalah sahabat yang kejam.
- Visa Selandia Baru - 2016.02.10
- Suatu Hari Aku Akan Bercerita Tentang Perjalanan ini Padamu Meskipun Kamu Tahu Kisahnya - 2016.02.04
- Busker - 2016.01.31