Sahabat terbaik saya berpendapat bahwa Paulo Coelho adalah penulis yang membosankan, meskipun ia terus saja membaca novel-novelnya. Menurutnya hanya The Winner Stands Alone dan Eleven Minutes yang cukup berbeda dari Alchemist, sisanya adalah hasil kloning karya terlaris penulis Brasil tersebut.
The Pilgrimage pun begitu. Buku pertama Coelho ini punya banyak kemiripan dengan Alchemist. Saya juga tidak akan merekomendasikan buku ini pada semua orang, mungkin karena muatannya dianggap relijius dan personal, walaupun bagi saya, buku ini tak tertahankan. Sama seperti perjalanan, atau traveling; ia juga bukan untuk semua orang. Menurut Coelho, when you travel, you experience, in a very practical way, the act of rebirth.
Kita menghadapi situasi yang sama sekali berbeda, hari akan berganti dengan lebih pelan, dan dalam banyak perjalanan, kita bahkan benar-benar tidak mengerti bahasa yang digunakan oleh penduduk lokal. Layaknya bayi yang keluar dari rahim. Kita mulai menganggap penting benda-benda di sekitar kita, karena mungkin saja hidup kita bergantung pada benda-benda itu.
Kita mulai lebih terbuka pada orang lain karena mereka mungkin bisa menolong kita di saat-saat kesusahan. Dan kita akan menerima kebaikan-kebaikan kecil dengan suka cita yang melimpah, seakan itu adalah peristiwa yang akan kita kenang selama-lamanya.
Melakukan perjalanan juga berarti meluluh-lantakkan rutinitas.
Dan pada saat yang sama, karena semua hal adalah baru, kita hanya melihat keindahan di dalamnya, lalu kita merasa bahagia, karena anugrah kehidupan itu sendiri.
Itu sebabnya tiap agama memiliki anjuran untuk melakukan perjalanan. Karena perjalanan selalu menjadi cara paling obyektif untuk mencapai sebuah pemahaman atau bahkan pencerahan. Dalam agama-agama, perjalanan semacam ini kerap disebut sebagai ziarah.
Mirip dengan tradisi Muslim yang mewajibkan pengikutnya untuk melakukan ziarah yang pernah dilakukan Muhammad di Mekah, atau yang lebih dikenal dengan naik haji, minimal sekali dalam hidup jika mampu; pengikut Kristus setidaknya memiliki tiga jalur ziarah yang dianggap suci. Masing-masing menawarkan serangkaian berkat dan pengampunan dosa untuk mereka yang menjalaninya.
Jalan suci pertama adalah jalan menuju kuburan Santo Petrus di Roma; pelakunya disebut wanderers, para pengembara. Mereka mengambil salib sebagai simbolnya.
Jalan yang kedua menuju Makam Suci Kristus di Yerusalem; mereka yang mengambil jalan ini dipanggil dengan nama palmists, para pembawa daun palem. Mereka mengambil simbol ranting daun palem, daun yang digunakan untuk menyambut Yesus ketika memasuki kota Yerusalem.
Dan jalan ketiga, jalan yang terakhir, jalan menuju kuburan rasul San Tiago, orang Inggris menyebutnya St James, Jacques oleh Prancis, Giacomo oleh orang Itali, Jacob dalam bahasa Latin, atau Yakobus dalam bahasa Indonesia. Ia dikubur di semenanjung Iberia, di mana seorang gembala melihat bintang yang amat terang di atasnya, kota Compostela, kota tanah lapang bintang-bintang. Para pejalan menuju Santiago de Compostela dinamakan pilgrims, para peziarah, dan simbol mereka adalah kulit kerang.
Ada kata dalam bahasa Spanyol yang berarti dosa kecil, peccadillo, yang berasal dari kata pecus, yang berarti “kaki yang cacat,” kaki yang tak mampu melangkah. Satu-satunya cara untuk menyembuhkan peccadillo adalah dengan selalu berjalan ke depan, beradaptasi pada situasi yang baru dan imbalannya adalah menerima ribuan berkah yang diberikan sang hidup yang dengan murah hati memberikan itu semua bagi siapa saja yang datang mencarinya.
Dan kami berencana mencoba menyembuhkan peccadillo kami, dosa-dosa kami, kaki-kaki kami yang cacat pada jalan ketiga, jalan menuju makam San Tiago; Camino de Santiago.
https://youtu.be/EV_YtliD5ds
- Visa Selandia Baru - 2016.02.10
- Suatu Hari Aku Akan Bercerita Tentang Perjalanan ini Padamu Meskipun Kamu Tahu Kisahnya - 2016.02.04
- Busker - 2016.01.31