Seperti anak kecil mendapat kembang gula, saya memandangi dinding stadion berkapasitas 80.018 itu di bawah gerimis salju. Saya sampai lupa alasan apa yang membuat saya begitu menggemari klub sepak bola berseragam merah hitam kota ini. Di depan San Siro, saya berteriak kegirangan, “Milano siamo noi“.
Kamis, 13 Desember 2012
Salah satu hal yang membedakan penerbangan murah dan mahal adalah bandara tujuannya. Menggunakan RyanAir dari Paris menuju Milan adalah salah satu contohnya. Dari Paris kami tidak melalui bandara Charles de Gaulle (CDG) tapi melalui bandara BeauvaisTillé (BVA) yang letaknya 85 km dari Paris. Untuk menuju ke sana kami memakai jasa Airport Shuttle dengan tiket seharga €15. Sampai Milan pun tidak di Malpensa (MXP) tapi di Bergamo Orio al Serio (BGY) yang jauhnya 45 km dari kota Milan.
Sesampainya di Milan sudah tengah malam. Di luar hujan salju lumayan lebat dan transportasi publik tidak ada yang beroperasi. Jadilah kami menggelar sleeping bag di dinginnya besi kursi bandara kecil di kota Bergamo itu. Jangan khawatir untuk tidur di bandara Orio al Serio, karena banyak traveler yang bernasib sama. Tapi sialnya, berdasarkan website ini bandara ini terkenal tidak nyaman untuk bermalam.
Benar saja, sekitar pukul 3 pagi petugas kebersihan berteriak-teriak membangunkan kami. Lalu dengan mesin pembersih serupa mobil kecil berkecepatan cukup tinggi mulai berputar-putar membersihkan lantai (dan para traveler). Sebenarnya jika kamu punya toleransi tinggi pada hal-hal semacam ini, bandara ini cukup nyaman. Ada kafe kecil yang buka di sudut bandara. Dan orang-orang Itali sangat ekspresif. Kami cukup terkejut senang ketika beberapa Italiano memutuskan untuk berdansa menghibur para traveler lain.
Jumat, 14 Desember 2012
Pagi buta, sekitar pukul 6 kami berangkat menuju Stazione di Milano Centrale menggunakan Terravision Shuttle Bus, tiketnya €5 dengan 50 menit perjalanan. Hujan salju tadi malam membuat pemandangan penuh dengan gunungan salju. Bus kami sempat dilempar salju oleh anak-anak iseng dari atas jembatan penyebrangan yang membuat pak supir marah-marah. Saya lupa apakah dia mengatakan vaffanculo atau tidak.
Di stasiun sentral Milan masih pagi. Kami menyempatkan untuk menjelajahi bangunan megah itu sekaligus mencari kopi dan sarapan. Kebetulan di lantai dua ada kedai kecil yang menyediakan pizza dan kopi. Kami memesan satu iris pizza dan secangkir kopi. Di meja dengan tempat duduk harga penganan sedikit lebih mahal dengan meja berdiri tanpa tempat duduk. Kami memutuskan untuk membeli kenyamanan.
Menggigit sedikit pizza dan menyeruput cappuccino…
Damn, ini Italia! Benar-benar surga bagi pecinta kopi. Itu cappuccino di warung kecil di stasiun bisa begitu enak itu dari mana ceritanya.
San Siro
Rencana kami hanya mampir sehari di Milan. Saya hanya ingin melihat Stadion San Siro. Itu saja. Ia berjarak sekitar 6km dari stasiun sentral Milan. Dengan membawa carrier kami memutuskan untuk menggunakan Milan Metro untuk ke sana. Harga tiketnya €1.50. Dengan hanya 4 line, tentunya lebih mudah dicerna dibanding Paris Metro. Dengan menaiki jalur hijau MM2 ke arah Abbiategrasso kami berhenti di Cadorna untuk berpindah ke jalur merah MM1 ke arah Rho Fiera dan berhenti di Lotto.
Dari Lotto kami berjalan kaki melewati jalan yang penuh salju tebal, seperti melewati gundukan es parut. Kami tertawa di bawah salju yang turun sedikit demi sedikit. Ah, kita memang kerap memimpikan hal-hal yang tak pernah hadir, sahabatku.
Setelah berjalan sekitar 20 menit dan berulang kali salah menebak, kami melihat bayangan stadion cantik itu di balik kabut salju. Seperti anak kecil mendapat kembang gula, saya memandangi dinding stadion berkapasitas 80.018 itu di bawah gerimis salju. Saya sampai lupa alasan apa yang membuat saya begitu menggemari klub sepak bola berseragam merah hitam kota ini. Di depan San Siro, saya berteriak kegirangan, “Milano siamo noi“.
- Visa Selandia Baru - 2016.02.10
- Suatu Hari Aku Akan Bercerita Tentang Perjalanan ini Padamu Meskipun Kamu Tahu Kisahnya - 2016.02.04
- Busker - 2016.01.31