Mimpi Eropa

Eropa adalah magnet bagi kaki setiap traveler dari ekuator. Mimpi memang kerap tertambat pada sesuatu yang tak hadir. Ketika matahari begitu melimpah di khatulistiwa, saya ingin bertemu musim dingin.

Mimpi, barangkali, sering bermula dari kejadian-kejadian remeh; seperti buku dan film. Cerita-cerita yang menjelma menjadi bayangan, keinginan, dan  pada akhirnya impian. Seperti kisah Jean-Paul Sartre yang membaca karya Heidegger di Café Le Deux Magots selama enam hari berturut-turut membuat saya membayangkan berada di Paris. Atau hal ringan macam chit-chat cerdas Jesse dan Celine menuju Wina di film Before Sunrise membuat saya memimpikan berjumpa dengan penjaja puisi atau peramal tarot ketika berjalan di tepian sungai Danube.

Impian bagi saya adalah sesuatu yang tidak mungkin terjadi, setidaknya di waktu saya memikirkannya. Tentu saja. Jika ia tidak mustahil, saya akan menyebutnya rencana, bukan impian. Pertemuan dengan virtri, sahabat terbaik saya adalah katalis yang sangat kuat dalam impian ini. Pada enam tahun yang lalu kami memimpikan Vienna Ferrish Wheel dan Eurail. Saat itu kami bahkan belum punya paspor. Ia adalah sesuatu yang tak terjangkau. Maka biarlah kami bermimpi.

Kami mulai melakukan perjalanan-perjalanan setelah kami bekerja; backpacking istilahnya. Saya sering menyebut kami adalah backpackers by fate, not by choice. Klise memang, kami jatuh cinta pada tiap perjalanan yang kami lakukan. Bangunan, bahasa, dan kebudayaan yang berbeda. Tapi yang membuat kami jatuh cinta adalah manusia-manusia yang kami temui di setiap perjalanan. Manusia-manusia yang ramah, yang bangga terhadap budaya lokalnya, yang mau berbagi pengalaman, yang egois, yang suka menipu, yang acuh, yang menarik, yang kuat, atau bahkan yang terpinggirkan.

Ya, kami selalu jatuh cinta pada manusia-manusia yang kami temui di setiap perjalanan. Because traveling is always about the people, right?

Perjalanan dengan paspor kami yang pertama di tahun 2010, Singapura, negara yang paling sering ditemui di lembar pertama paspor orang Indonesia. Lalu beberapa negara Asean lainnya di tahun-tahun berikutnya. Perjalanan-perjalanan yang membuat mimpi Eropa kami makin kuat.

Bukan tanpa sengaja dua tahun yang lalu saya memberi kado pada virtri, sebuah buku seri Lonely Planet, “Europe on a shoestring, big trip on small budgets”. Lalu ada beberapa sahabat dekat kami di Cambridge yang kerap menggoda kami untuk mampir ke Inggris, atau seorang teman lama yang menetap di Barcelona yang ingin memamerkan bahwa Catalonia bukanlah Spanyol,  dan tahun ini seorang teman virtri dengan keluarga kecilnya di Kopenhagen seolah-olah memanggil kami untuk datang sebelum mereka kembali ke tanah air.

Ya, kejadian-kejadian itu seakan menjadi pembenaran mimpi Eropa kami. Paulo Coelho menulis dalam Alkemis, “And, when you want something, all the universe conspires in helping you to achieve it

Lalu kami memberanikan diri untuk mulai mempersiapkan petualangan mimpi Eropa kami…

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

You can use markdown, yes that awesome markdown.

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.