Sebagai orang Indonesia, saya tidak begitu familiar dengan istilah hitchhiking, ia lebih dikenal di Eropa atau Amerika Utara. Saya mengenalnya lewat film dan buku. Idenya adalah bepergian murah atau bahkan gratis dengan menumpang kendaraan yang lewat, entah itu mobil, atau bahkan truk.
Bepergian model hitchhiking punya kemiripan dengan gaya traveling kami dalam hal itinerary, sangat fleksibel. Selain sebagai pembenaran atas kemalasan kami menyusun jadwal, kami cenderung menyukai kejutan-kejutan yang akan muncul di ujung jalan. Tak terkecuali perjalanan kami ke Nepal pertengahan tahun 2013.
Hari pertama kami menghabiskan waktu di Nagarkot (नगरकोट), sebuah daerah perbukitan di timur Kathmandu. Ia terkenal dengan pemandangan delapan dari tiga belas bentang Himalaya. Cukup menakjubkan ya? Enam puluh persen bentang pegunungan tertinggi di dunia itu bisa dilihat dari daerah ini. Dengan satu syarat: jika cuacanya bagus.
Setelah perjalanan satu jam dari Kathmandu kami tiba di Hotel at the End of the Universe, dan siang itu kami mendapati Nagarkot yang dingin dan penuh kabut. Kami tahu di balik halimun itu ada Himalaya, ibu dari segala gunung. Mudah sekali untuk kecewa. Tapi saya pikir, salah satu keuntungan traveling dengan itinerary fleksibel adalah kami dengan mudah terhindar dari rasa itu. Alih-alih menuju ke atap hotel, kami menuju ke restoran, check-in di Foursquare, memesan sebotol bir yang namanya sama dengan nama gunung yang saya pikir sudah pasaran sekali di Nepal karena semua hal diberi merek yang sama: Everest, dan memulai percakapan.
“Hotel ini adalah hotel keluarga, ” kata Oasis Bhaju, pemilik hotel di ujung semesta ini. Oasis adalah orang Nepal asli, sementara istrinya berkebangsaan Belanda. Hotel yang dikelola oleh kombinasi pasangan lokal dan asing seperti ini bisa saya lihat di Indonesia, dari Bali sampai Labuan Bajo. Saya rasa hotel-hotel ini memiliki kekuatan kultur lokal yang mengakar dan keluwesan ketika berhadapan dengan para pejalan dari negeri-negeri jauh.
“Saya suka namanya.” Hotel at the End of the Universe, Hotel di Ujung Semesta. Nama apa yang lebih baik dari itu untuk sebuah hotel mungil yang menyesuaikan lanskap bukit kecil di ujung kesunyian tanah Nepal dan menghadap langsung ke sang Sagarmāthā.
“Hehehe, kami dapat nama itu dari buku Douglas Adams,” jelas Oasis sembari terkekeh. Tepatnya buku kedua dari rangkaian serial novel The Hitchhiker’s Guide to the Galaxy, judul buku itu The Restaurant at the End of the Universe. Saya malah ikut tertawa, mengingat saya hanya sempat membaca novel pertamanya saja.
Saya dan Virtri duduk berhadapan di dekat jendela restoran di ujung semesta itu. Dengan perlahan meminum bir yang rasanya sedikit manis, hampir mirip dengan bir Bintang. Seiring dengan rasa hangat yang mulai muncul, kabut Nagarkot meluruh. Langit penuh. Salju menyepuh puncak-puncak batu.
Ia dinamai Everest oleh seorang dari bangsa yang gemar menaklukkan apapun. Ia dikenal orang Tibet sebagai Chomolungma; pegunungan yang sangat tinggi sampai tak ada burung yang bisa melintasinya. Ia adalah si puncak langit Sagarmāthā bagi orang Nepal.
Kami menarik sudut bibir kami. Membentuk senyuman. Itu adalah senyuman di ujung semesta.
[yinstagram hashtags=”#travelishpost4nagarkot”]
- Visa Selandia Baru - 2016.02.10
- Suatu Hari Aku Akan Bercerita Tentang Perjalanan ini Padamu Meskipun Kamu Tahu Kisahnya - 2016.02.04
- Busker - 2016.01.31