Kanpai, Kyoto

Berkunjung ke Kyoto adalah berjumpa dengan tabrakan budaya paling elegan yang pernah saya temui sejauh ini. Bagi saya, Kyoto adalah kota yang komplit. Terletak di lembah Yamashiro di timur pegunungan Tamba, ia adalah bekas ibu kota Jepang selama lebih dari seribu tahun. Seperti membayangkan Bandung, atau Malang jadi ibu kota Indonesia. Ini mengakibatkan ekonomi, infrastruktur, transportasi, dan pendidikan kota ini modern, pun manusiawi.

Kemajuan itu sepertinya benar-benar diimbangi dengan baik oleh kearifan lokalnya. Kota Sepuluh Ribu Kuil ini tak hanya menjaga ribuan bangunan maupun kuil tradisional dan kuno yang tak hancur oleh Perang Dunia ke-2, tapi juga menghidupi budayanya. Masuklah ke area Gion di mana kekaisaran Jepang seperti masih berkuasa. Kami, saya dan Virtri, dengan mudah menemukan maiko yang hilir mudik lengkap dengan kimono dan kedipan mata ala Chiyo Sakamoto. Melihat sepeda dan ginrikisha (人力車) di antara Shinkansen dan Subway. Atau sekedar mengalami dunia Zen tepat di pusatnya.

Tak jauh di seberang Gion, ada satu budaya Jepang yang ingin kami coba. Minum sake. Di Kyoto. Pilihan kami adalah Nihonshu Bar Asakura (日本酒 BAR あさくら). Nihonsu adalah cara pengucapan sake yang benar menurut orang Jepang. Bar ini dengan berani menjanjikan rasa sake asli di Kyoto.

Nihonshu Bar Asakura
Nihonshu Bar Asakura

Asakura adalah nama pemiliknya, sayang malam itu kami tak bertemu dengannya. Tapi kami dilayani dengan baik oleh mas gondrong dengan bahasa Inggris yang bagus untuk ukuran orang Jepang. Bar ini sangat kecil, hanya muat sebelas orang. Kami beruntung bisa langsung masuk. Beberapa orang bilang sebaiknya membuat pemesanan di awal karena biasanya bar ini penuh. Selain karena sakenya terkenal enak, juga karena ia adalah salah satu dari sedikit bar sake dengan bartender yang bisa berbahasa Inggris tentu saja.

Asakura Bar

Sake

Dengan banyaknya pilihan sake dan pengetahuan kami tentang sake yang sama sekali tidak ada, kami memutuskan untuk mencoba “sake tasting“, sounds like wine tasting for sake. Harganya sekitar ¥2000 untuk tiga gelas. Tidak murah jika dibandingkan segelas martini di Naughty Nuri’s Ubud. Setelah kami sepakat dengan harga, segelas Namazake, dua gelas Daiginjo, dan dua piring kecil ikan bilis tersedia di meja mini kami. Mas gondrong mulai menjelaskan keunikan sake di tiap gelas kami. Dari perfektur di mana sake itu dibuat sampai pola rasa dan aroma. Aroma? Dari tadi hidung kami sudah kembang kempis mencium harum bau sake.

Sake Tasting
Sake Tasting

Pada pernikahan bergaya Shinto di Jepang, pasangan akan meminum sake pada tiga mangkok yang berbeda. Tiap mangkok lebih besar dari mangkok sebelumnya. Berbagi minuman sake dalam mangkok berarti membagi kebahagiaan, dan penderitaan. Dengan cara itulah mereka merayakan pernikahan dan kehidupan setelahnya.

Kami mulai mengambil gelas, lalu menyesapnya sedikit demi sedikit.
Untuk semua yang tak bosan merayakan hidup, Kanpai!

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

You can use markdown, yes that awesome markdown.

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.