Hostel atau tempat penginapan murah selain sebagai tempat untuk melepas lelah dan bertemunya manusia-manusia dari seluruh penjuru dunia, ia juga merupakan perpustakaan organik yang cukup unik. Saya sering menemukan rak-rak buku di sana. Menariknya, seperti ada peraturan tak tertulis di antara para pelancong jika buku-buku yang tersedia di sana boleh dibaca bahkan dibawa pulang.
Tidak takut habis dicuri? Tenang saja, kebanyakan pelancong adalah manusia-manusia baik. Biasanya syarat mengambil adalah menukar buku dengan buku. Dengan begitu buku akan selalu ada. Bahkan banyak yang hanya meninggalkan bukunya begitu saja tanpa mengambil buku lain sebagai gantinya. Akibatnya, buku-buku di rak hostel bisa beragam jenisnya; dari kitab suci Lonely Planet sampai 50 Shades of Grey. Oh ya, dan saya akan tersenyum senang jika beruntung menemukan buku berbahasa Indonesia ketika berada di luar negeri. Klise? Dalam pembelaan saya, mengutip George Moore; manusia mengelilingi dunia untuk mencari apa yang ia butuhkan lalu kembali ke rumah untuk menemukannya. Perasaan bisa dekat dengan Indonesia; atau setidaknya mengetahui saya masih bisa pulang ke rumah ketika saya berada sangat jauh itu tak ternilai.
Jarang sekali menemui traveler yang tidak suka membaca buku. Mungkin klaim yang subyektif karena saya selalu dikelilingi oleh lingkungan yang suka membaca buku sehingga saya selalu tertarik dan mendekati dengan orang-orang yang punya kebiasaan mirip. Dan saya sudah terpapar dengan budaya membaca saat masih belia. Tentunya saya harus berterimakasih yang tak pernah putus pada Ibu yang mengenalkan saya pada Bobo, Si Kuncung, Lima Sekawan serta buku-buku perpustakaan sekolah Ibu ketika saya kecil. Saya masih dengan jelas ingat petualangan seru saya memecahkan kasus-kasus aneh di California bersama Trio Detektif, mencari harta karun ke Pulau Kirrin dengan George, Julian, Anne, Dick, dan Tim, atau ke negeri absurd Baron von Münchhausen. Saya bepergian sampai ke ujung dunia dari dalam buku.
Begitu juga sebaliknya. Ketika traveling tak jarang saya malah mencari buku. Saya cenderung memutuskan untuk mampir ke toko buku atau pameran buku ketimbang ke mall atau tempat oleh-oleh; seperti ke kawasan Kwitang Jakarta, Soping di Yogya, Bras Basah di Singapura, atau Shakespeare & Co di Paris. Dari hanya melihat-lihat sampai jadinya memborong buku-buku murah atau langka. Dan sesungguhnya dalam buku-buku yang dibeli terdapat hutang membaca buku sebelumnya.
Buku dan traveling menjadi dua hal yang tidak bisa dipisahkan. Mereka saling melengkapi. Saya menemukan waktu untuk membaca ketika sedang melakukan perjalanan, semakin jauh, semakin lama, semakin besar kemungkinan saya menyelesaikan membaca satu atau beberapa buah buku. Ini bisa jadi alasan bagi saya untuk traveling lagi, karena semakin jarang melancong, semakin banyak buku yang belum saya baca. Bagi saya buku adalah candu. Saya hampir selalu membawa buku ke manapun.
Setahun terakhir ini saya membawa Kindle ketika sedang traveling alih-alih buku fisik. Alasannya; ringkas, dan enteng, berapapun “buku” yang saya bawa. Jika saya menyelesaikan novel 400 halaman dalam semalam, berapa banyak buku yang saya baca untuk traveling seminggu? Juga karena saya tidak punya romantisme berlebihan pada bau kertas buku baru, atau sensasi dan debar ketika membuka halaman demi halaman, maka saya rasa Kindle cocok untuk saya.
Tapi apapun mediumnya, buku fisik atau elektronik, saya sadar, ketika saya membaca buku, saya melakukan sebuah perjalanan. Anna Quindlen bilang, “in books I have traveled, not only to other worlds, but into my own.” Membaca buku ketika traveling adalah travelception.
- Visa Selandia Baru - 2016.02.10
- Suatu Hari Aku Akan Bercerita Tentang Perjalanan ini Padamu Meskipun Kamu Tahu Kisahnya - 2016.02.04
- Busker - 2016.01.31