Mengunjungi ibu kota propinsi Rajashtan di musim panas bulan Mei bukanlah hal yang dianjurkan. Tabel temperatur tahunan menunjukkan bahwa kota dengan iklim semi-arid atau semi gersang ini mencapai titik tertingginya di bulan Mei, dengan rerata empatpuluh derajat celius di siang hari itu membuatnya cocok untuk membuat telur setengah matang. Ia jelas jauh lebih panas dari Delhi atau Agra.
Dan entah apa yang membuat sang raja dari Amer membuat ibu kota kerajaan di propinsi yang memiliki gurun Thar, padang gurun terbesar di India, the Great Indian Desert. Tapi sang raja tampaknya tidak main-main, Jai Singh II benar-benar merencanakan tata kota yang ia beri nama sesuai dengan namanya sendiri; Jainagara, yang menjadikannya penyandang julukan kota terencana pertama di India.
Berkunjunglah Rajashtan, tanah para raja, tanah yang terkenal dengan kebudayaan sungai Indusnya, propinsi paling semarak di India. Berkunjunglah ke Jainagara, yang kini lebih dikenal sebagai Jaipur, kota yang penuh warna, di mana bangunan berumur ratusan tahun, toko Adidas tanpa diskon, bioskop India dan restoran Amerika cepat saji berkumpul di pinggir jalanan aspal lebar dalam kota yang ditata dengan baik. Meski tabrakan budaya di Jaipur tak seelegan Kyoto, bagi saya ia jauh lebih eksotis.
Di Jaipur, bus kota ugal-ugalan menghindari onta dan sapi yang lamban, tukang becak dengan santai mengayuh di jalan utama tak mengacuhkan klakson frustasi para pemotor, dan tukang tuk-tuk yang tumbuh di mana-mana seperti harimau Bengali yang sabar menanti mangsa. Lalu tambahkan udara panas gurun, aspal yang mulai meleleh, dan jalanan berdebu yang penuh dengan pekerjaan konstruksi Metro Jaipur. Tak heran jika danau Man Sagar di Utara kota ini serupa oase di tengah padang gurun. Dalam bendungan hampir seribu kaki terlihat bagaimana upaya Jai Singh II melawan gersangnya Jaipur.
Dan barangkali dalam istana air Jal Mahal yang mengapung di tengah danau Man Sagar saya menemukan alasan kenapa Jai Singh II begitu mencintai kota ini.
Lalu saat tak ada apa-apa lagi selain perbukitan tandus di batas kota Jaipur, bersiaplah berjumpa dengan benteng maha besar yang cuma bisa ditemui di cerita-cerita dongeng atau di Indiana Jones and The Temple of Doom, istana dengan ratusan anak tangga yang berkelak-kelok, bangunan batu merah sebesar empat kilometer persegi yang membuat ukuran gajah-gajah India yang melintas pun terlihat seperti kucing, istana serupa benteng berusia tiga abad di puncak bukit sang elang Cheel ka Teela: Amer Palace.
Masuklah ke pusat kota, mereka menyebutnya Kota Merah Jambu, The Pink City, di mana Jaipur menunjukkan bagian terbaik dari dirinya; kemegahan masa lalu yang begitu indah. Area Pink City terasa seperti dunia yang berbeda, gerbangnya seolah pintu portal menuju tempat dengan gravitasi yang lebih berat. Semua terasa lambat di sini. Tiba-tiba kekacauan itu terasa hilang begitu saja. Waktu seakan berjalan sangat pelan di Jaipur, merambati dinding-dinding tinggi bercat merah marun.
Di pusat Jaipur, para penduduk dari masa lalu masih menetap di City Palace, istana dengan arsitektur Eropa dan Mughal untuk Maharaja Jaipur, mereka sesekali melihat bintang dan galaksi di planetarium kuno Jantar Mantar, atau sekadar membeli kelontong di pasar di depan bangunan seribu jendela dalam lima lantai yang mirip seperti sarang lebah; istana sang angin Hawa Mahal.
Pada suhu 43°C, waktu pun seolah terperangkap dan memuai di Jaipur.
[yinstagram hashtags=”#travelishpost4jaipur”]
- Visa Selandia Baru - 2016.02.10
- Suatu Hari Aku Akan Bercerita Tentang Perjalanan ini Padamu Meskipun Kamu Tahu Kisahnya - 2016.02.04
- Busker - 2016.01.31