Salman, Saleem, Dan Mumbai

DSCF7818
Gateway of India

Para penulis punya kecenderungan memasukkan kota tempat ia lahir maupun tumbuh dewasa ke dalam karya-karya mereka; nama tempat yang terus-menerus disebut dalam prosa, puisi, atau novel mereka dengan intensitas yang melebihi naiknya bunga KPR. Seperti saya menemukan Istambul dalam karya-karya Orhan Pamuk, Banyumas di novel Ahmad Tohari,  atau Mumbai pada Salman Rushdie.

Mumbai, atau Bombay  sebelum 1995, adalah kota yang memberi energi pada seseorang yang menghabiskan lebih banyak waktu hidupnya di pengasingan gara-gara novel kontroversialnya; The Satanic Verses. Kota tempat Rushdie dibesarkan ini disebut-sebut dalam karya-karyanya, seperti The Moor’s Last Sigh, Fury, dan tentu saja karya klasiknya; Midnight’s Children.

Pada Midnight’s Children, Rushdie memberi kita Saleem Sinai yang lahir di Mumbai tepat di tengah malam kemerdekaan India, sang protagonis merangkap narator. Dalam buku 647 halaman melalui sang narator yang memiliki ingatan yang tak bisa diandalkan, sedikit mengidap Messiah kompleks, cukup menyebalkan, ceroboh, dan susah untuk fokus itu, Rushdie menguliti dengan rakus hampir semua sudut kota yang mengambil nama dari dewi Mumbā, sang Mahā-Ambā, sang Ibu yang Agung, dewi pelindung para pencari ikan dan petani garam yang menjadi penghuni asli Seven Islands of Bombay.

Mungkin saking serakahnya, tidak ada detil yang tersisa dari kota Mumbai untuk generasi penulis setelah dia. Salman Rushdie telah menyegel semua tempat di Mumbai dengan namanya; dari Goa Elephanta, Gateway of India sampai Marine Drive. Dari monyet-monyet, pelabuhan sampai tetrapod. Dari Back-To-Bom sampai isu reklamasi tanah.

Memang Mumbai tak ubahnya kota-kota metropolitan di negara-negara berkembang. Ia sesak, bising, dan penuh asap knalpot. Kemacetan juga menjadi makanan sehari-hari. Mobil-mobil tanpa spion kiri masih berlalu-lalang di jalanan yang kacau balau. Manusia-manusia yang hidup dengan dua dolar sehari masih bisa dilihat di beberapa kawasan kumuh atau tertidur di pinggir jalan dan jembatan. Tapi ada yang membuat Mumbai lebih mirip dengan Jakarta dibanding Delhi ketika saya bersinggungan dengan penduduk lokalnya. Dan percayalah, jika Anda datang ke Mumbai setelah Delhi, Agra, dan Jaipur, pernyataan ini adalah sebuah pujian.

DSCF7733
20 persen penduduk India hidup dengan dua dolar sehari

Setidaknya itu yang saya rasakan ketika menyusuri Mumbai. Sejak dari bandara yang bersih, kawasan elit di Dhobi Ghat, kereta penuh sesak yang sedikit suisidal, jalanan berdebu di sekitar pasar Crawford, kawasan kumuh Masjid Bunder, sampai hiruk pikuk dermaga Wellington; secara mengejutkan saya mendapati kota yang ramah dan cenderung aman. Saya bisa bertanya tanpa rasa takut pada penduduk lokal tentang kereta mana yang menuju stasiun Masjid ketika kami tersesat di pukul sepuluh malam.

Bagi saya Mumbai lebih layak menjadi wajah India daripada Delhi, atau mungkin mereka bernasib sama seperti Saleem dan Shiva; sengaja ditukar saat mereka lahir.

Prima in Indis
Gateway to India
Star of the East with her face to the West

Sajak tua dalam narasi awal Saleem seperti menggambarkan bagaimana Mumbai yang disajikan oleh Salman Rushdie: sebuah kota yang penting bagi penduduknya dan sebagai gerbang masuk ke India oleh para pendatang. Ia adalah kota India yang paling dipengaruhi oleh budaya Barat, meskipun ia masih kusut dan semrawut, ia menjelma menjadi kota kosmopolitan, multikultur, dan toleran.

 


[yinstagram hashtags=”#travelishpost4mumbai”]

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

You can use markdown, yes that awesome markdown.

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.