Bandara Charles de Gaulle (CDG) menyambut kami dengan gerimis hujan di tengah pekatnya malam di Ile de France. Bienvenue à Paris. Selamat datang di Paris, Perancis. Paname. La Ville-Lumière. Kota yang penuh cinta. Kota yang hangat. Iya, yang pasti ia lebih hangat daripada Kopenhagen. Semakin ke selatan, semakin mendekati ekuator, udara makin hangat. Malam itu suhu berkisar di tujuh derajat Celcius. Cukup hangat.
Dan sembari menunggu bagasi dari EZY3828, saya mencari informasi bagaimana caranya menuju hostel kami di Rue de Crimée dengan cepat, karena koneksi internet gratis via Wi-Fi yang tersedia di CDG dibatasi hanya satu jam saja. CDG atau Aéroport Paris-Charles de Gaulle adalah bandara terbesar di Paris. Ia adalah bandara kedua tersibuk di Eropa setelah Heathrow London. Paris bisa dijangkau juga lewat beberapa bandara selain CDG, Aéroport de Paris-Orly (ORY), Aéroport de Beauvais-Tillé (BVA), Aéroport Châlons Vatry (XCR), dan Aéroport de Paris-Le Bourget (LBG).
Kami menggunakan maskapai easyJet yang termasuk ke dalam tipe penerbangan low cost carrier. Penerbangan dari Kopenhagen ke Paris menempuh waktu dua jam. Seperti penerbangan murah di Indonesia, easyJet pun punya fitur delayed. Penerbangan kami tertunda sekitar setengah jam di Kopenhagen. Tiket easyJet sendiri kami tebus seharga €25 per orang, sekitar 320 ribu rupiah. Sebelum memesan tiket ini dari jauh hari, saya sempat bertanya di grup indobackpacker tentang peraturan tas kabin, karena memang penerbangan murah Eropa macam ini jatah tas kabinnya sangat kecil. Respon dari teman-teman indobackpaker menyarankan untuk menambah €10 bagasi ketimbang kena biaya €50 ketika membayar di tempat. Di CPH, kami sempat menjumpai penumpang yang terpaksa membayar sejumlah itu untuk bagasi ketika tas kabinnya terlalu besar. Kasihan.
Menurut informasi dari hostel kami, untuk bisa sampai ke Rue de Crimée, kami harus naik RER B menuju Laumière. Tujuan akhirnya adalah Laumière. Laumière. Tidak boleh lupa, namanya stasiun Laumière.
Saya selalu bersemangat pada kali pertama pengalaman mencicipi sistem transportasi publik di tiap kota yang baru saya kunjungi. Paris tak terkecuali. Setelah sangat berhemat di Denmark, kali inilah kami mulai mengeluarkan Euro. Tiket seharga €9,25 bisa dibeli di mesin-mesin tiket yang tersebar di seluruh stasiun. Sebagian besar menerima uang kertas, pecahan logam, serta kartu debit dan kartu kredit dengan chip dan pin. Dengan banyaknya petunjuk jalan, saya yakin tak ada orang yang benar-benar tersesat di stasiun di Paris. Dengan cepat kami bisa mengikuti jalan yang benar, bukan jalan kesesatan.
Suasana stasiun ketika kami menunggu RER B di Charles de Gaulle sebenarnya tidak jauh berbeda dengan stasiun Gambir atau stasiun Kota. Muram. Mungkin saja karena musim dingin. Atau karena tak adanya matahari. Entah.
RER adalah singkatan dari Réseau Express Régional, jaringan kereta yang melayani dari Paris ke kota-kota pinggirannya. Sedangkan Metro, seperti namanya, Métro de Paris, melayani transportasi kereta di dalam kota metropolitan; Paris. Dibanding Metronya, kondisi RER B sendiri tidak istimewa, malah mirip KRL. Tak ada nama Laumière di rute RER B karena kami memang harus pindah di Gare du Nord ke M5 untuk menuju Laumière. Stasiun Gare du Nord ini besar sekali. Ia adalah semacam stasiun pusat. Kereta Metro, RER, antar kota dan negara mampir ke stasiun ini. Hup, kami harus cepat mencari M5 sebelum malam semakin larut. Lama-lama pegal juga memanggul backpack seberat 10kg ke mana-mana.
Akhirnya kami mendapati nama Laumière pada rute M5 yang menuju ke Bobigny-Pablo-Picasso. Kami tersenyum geli ketika mendapati banyak nama tempat di rute Metro atau RER adalah nama pesohor-pesohor kondang masa lalu. Nama-nama seperti pelukis Pablo Picasso, raja Philippe Auguste dan raja George V, si anarkis Louise Michel, dan penulis-penulis besar macam Anatole France, Alexandre Dumas, atau Victor Hugo. Bahkan presiden Amerika yang pernah menjadi sekutu Perancis di perang dunia kedua, Franklin D. Roosevelt, pun mendapat bagian. Paris memang sebuah kota yang megah. Ia adalah gadis cantik yang mampu mengundang semua intelektual dan seniman untuk merasakan keagungan pencerahan, the age of reason. Jejak-jejaknya sebagai pusat intelektual dan budaya dunia di abad 18 itu seakan tak bisa hilang. Dibalik senyum saat itu sebenarnya saya sangat iri pada Parisiens dengan semua sejarahnya.
Lalu setelah 45 menit perjalanan penuh sikap siaga karena tidak mau salah turun atau melewatkan Laumière, kami sampai juga di stasiun Laumière. Hostel kami, St Christopher’s Inns, masih berada sejauh 300 meter dari Laumière. Kami melanjutkan perjalanan di tengah Paris yang masih gerimis. Dan kami mendapati kejutan saat kami menemukan St Christopher’s Inns. Ia berada di depan gereja Saint-Jacques-Saint-Christophe dan di tepian sungai. Ah, bukan. Bukan sungai. Tapi danau. La Villette Basin. Sebuah danau buatan terbesar di Paris. Kami tak bisa berlama-lama mematung melihat kejutan kami karena dingin yang dibawa gerimis kian menusuk. Dan kami mendengar perut kami yang sudah keroncongan. Sudah pukul sembilan malam rupanya. Sebaiknya kami cepat-cepat check-in, makan malam, lalu beristirahat.
9 Desember 2012. Dari stasiun Kongens Nytorv, Kopenhagen ke stasiun Laumière, Paris. Perjalanan yang cukup melelahkan. Dan saya tak sabar untuk merasakan La Ville-Lumière esok hari.
- Visa Selandia Baru - 2016.02.10
- Suatu Hari Aku Akan Bercerita Tentang Perjalanan ini Padamu Meskipun Kamu Tahu Kisahnya - 2016.02.04
- Busker - 2016.01.31