Perjumpaan dengan Esméralda

2012-12-10 15.09.34Selepas secangkir coklat hangat dan kopi hitam di Les Deux Magots kami menyusuri Boulevard Saint-Germain yang mulai mengering dari hujan yang sejenak hadir. Kami sangat menikmati ketika kaki kami beradu dengan trotoar pada langkah-langkah kecil yang kami ambil. Kami membiarkan setiap sudut jalan di Latin Quarter memberi kejutan untuk kami. Seperti Imam Frollo dan Kapten Phoebus yang jatuh cinta pada perempuan gipsi Esméralda di perjumpaan pertama, secepat itulah kami menyukai Paris.

Bau tanah basah sehabis hujan membuat kami bersemangat melanjutkan langkah. Melintasi demonstrasi pro Tibet dari mahasiswa Université de Paris-Sorbonne di Place Saint-Michel, tempat yang biasa digunakan untuk protes dan pemberontakan sosial. Inilah Latin Quarter, daerah yang punya sejarah seberat namanya; dulunya ia adalah kawasan intelektual di abad pertengahan yang menggunakan bahasa Latin sebagai bahasa sehari-hari. Meskipun sekarang bahasa Latin sudah tidak lagi digunakan, udara di kawasan ini kental sekali dengan atmosfer kampus dan aktivis.  Beberapa kali kami menjumpai mahasiswa yang sedang asyik membaca diktat kuliah di kedai-kedai kopi.

Tak butuh lama bagi Paris untuk menghentikan ayunan kaki kami. Kami berhenti di jembatan Sungai Seine di depan air mancur Saint-Michel. Lagi-lagi kota yang indah ini mengejutkan kami. Kali ini oleh sebuah katedral gotik megah yang berusia 850 tahun di seberang sungai. Our Lady of Paris; katedral Notre-Dame de Paris.

Notre-Dame de Paris
Notre-Dame de Paris dari Sungai Seine

Sebenarnya Notre-Dame de Paris merupakan julukan kuno, penghormatan pada Perawan Terberkati Maria. Ia ada sejak Santo Paulus masuk ke Perancis pada abad pertama. Paris di awal kedatangan Kristen menjadi kota yang dikuduskan untuk Perawan Maria, di mana penduduknya juga sangat dihormati. Notre-Dame de Paris; Our Lady of Paris adalah Bunda Maria. Gelar yang hampir setua agama itu sendiri.

Kelihatannya Notre-Dame selalu punya tempat di hati semua orang yang bersentuhan dengannya. Bagi Uskup Paris abad ke-12, Maurice de Sully, ia adalah katedral yang ingin didedikasikan sepenuhnya hanya untuk Bunda Maria. Sementara bagi Victor Hugo, selain tentu saja menjadi pusat dari dunia The Hunchback of Notre-Dame, Hugo juga membuat Notre-Dame de Paris menjadi metafor indah dari si perempuan gipsi yang baik dan murah hati.

Tepat sebelum senja datang kami bertemu dengan sang Esméralda. Perjumpaan dengan metafora perempuan yang penuh dengan belas kasih. Perjumpaan dengan dua menara yang megah dan sempurna, begitu kokoh, begitu tinggi, dengan begitu banyak kisah yang terukir. Kemudian kami menjelajahi keindahan kapelnya. Membaca kisah Yesus di the choir wall. Membiarkan waktu berlalu seiring dengan suara orgel dari 8000 pipa yang bergemuruh dalam keheningan yang terasa begitu suci. Ada misa. Pantas saja.

Lalu sesaat sebelum kami berpisah dengannya, terdengar dentang bel bersahutan, entah dari menara Utara atau Selatan. Bisa jadi itu suara the great bourdon bell, Emmanuel. Pasti ini perbuatan hantu Quasimodo yang berkeliaran di sudut-sudut Notre-Dame dan tinggal di antara patung-patung gargoyle dan chimera; tempat di mana ia mendorong jatuh ayahnya yang telah membunuh Esméralda. Saya mematung. Membayangkan kegigihannya melindungi perempuan gipsi yang begitu dicintainya. Ah, Quasimodo, betapa ia telah menjadi simbol hati yang berani di balik kecacatan tubuhnya.

Di luar. Kami bertemu dengan matahari senja yang bersembunyi di gedung-gedung tua di seberang katedral. Bagi kami; senja sehabis hujan di Notre-Dame de Paris dengan bias cahaya keemasannya yang mulai memantul dari Sungai Seine pada musim dingin yang menusuk itu layaknya air yang dibawa oleh si cantik nan welas asih Esméralda untuk si bungkuk Quasimodo yang hampir mati kehausan; it saved us and captured our heart.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

You can use markdown, yes that awesome markdown.

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.