Pada penerbangan QR97 pukul lima pagi waktu Skandinavia saya melongok ke jendela yang berembun, gelap. Saya tak sabar melihat Eropa seperti anak kecil yang tak sabar menantikan Natal tiba. Satu jam kemudian saya mencoba melihat lagi ke arah yang sama. Saya melihat landasan terbang Københavns Lufthavn (CPH). Saya melihat salju.
“Are you sure you want to enter Copenhagen?” Tanya petugas imigrasi itu pada saya.
“Yeah, sure, why?”
“It’s freezing out there. Probably I won’t stamp your passport if the weather still like this in the next ten minutes.”
Saya tertawa. Petugas itu balas tersenyum lalu mengecap paspor saya. Mengunjungi Kopenhagen di bulan Desember adalah menyambut musim dingin. Menyambut turunnya butiran salju. Lagi-lagi, mimpi kerap tertambat pada sesuatu yang tak hadir. Sayangnya musim dingin di tahun 2012 adalah salah satu yang terburuk di Denmark. Saya memeriksa cuaca hari itu melalui ponsel. Cerah. Hore! Lalu saya melihat suhunya. Minus tiga derajat Celcius! Lemari es di rumah jauh lebih hangat.
Copenhagen Airport adalah termasuk bandara yang nyaman. Besar, modern, dan bersih. Ia menyediakan koneksi internet cuma-cuma via Wi-Fi tak dibatasi waktu. Khas negara-negara dengan peradaban maju; ia terintegrasi dengan transportasi publik antar moda. Bandara yang menyatu dengan akses ke Metro, kereta dan Bus kota. Tiketnya pun biasanya model Lord of the Tickets; satu jenis tiket untuk semua moda transportasi.
Virtri lalu menghubungi Dyah, seorang kawan lama yang menetap di Kopenhagen bersama keluarga kecilnya sejak beberapa tahun yang lalu. Maksud kami jelas; merepotkan mereka dalam dua hari ke depan! Yeah! Pukul delapan pagi atau jam dua siang di Jakarta, matahari baru menampakkan diri di Kopenhagen. Ketika kami menunggu Dyah, sambil menyeruput kopi di kedai Baresso Starbucks-nya Kopenhagen, kami menemukan 2 masalah di Denmark. Pertama, ini negara mahal. Satu cangkir espressonya sekitar 38 Kroner. Yang kedua, Danish Kroner (DKK). Orang Denmark tidak memakai Euro! Hanya beberapa toko saja yang menerima Euro dan kembaliannya Kroner. Satu Kroner sendiri sekitar 1700 Rupiah.
Kami terlalu gembira untuk mengecek pukul berapa Dyah sampai di bandara. A little chit-chat catch-up won’t hurt anyone. Setelah beberapa cerita Dyah membelikan kami sebuah Klippekort 2 zona seharga 140 DKK. Kopenhagen adalah yang cukup njelimet dalam model perhitungan untuk transportasi publiknya, tapi begitu mengerti, kita akan merasakan salah satu model transportasi terbaik dan ternyaman di dunia. Ada tiga variabel dalam perhitungannya, jumlah zona, waktu dan klip. Tiap zona harganya 12 DKK, untuk naik transportasi publik minimal adalah 2 zona (24 DKK). Contohnya dari bandara ke Kongens Nytorv adalah 3 zona, maka tiket yang diperlukan seharga 36 DKK. Tapi dari Kongens Nytorv ke Christianshavn yang satu zona, kita tetap harus membeli tiket seharga 24 DKK.
Jangan lupa mengeklip tiket yang sudah dibeli di mesin yang tersedia di depan tiap stasiun jika Metro dan kereta, atau di dalam Bus. Lupa mengeklip, kekurangan waktu atau zona tidak cukup, bisa menyebabkan denda sekitar 750 DKK. Untuk 2-3 zona batas waktunya satu jam, 4-6 zona 1,5 jam, 7-9 zona 2 jam.
Kebetulan Dyah membelikan kami sebuah klippekort 2 zona. Setiap klippekort berisi 10 tiket dan bisa dipakai lebih dari satu orang. Perhitungan dengan klippekort tetap mengacu pada minimal 2 zona setiap perjalanan. Contoh satu zona dari Kongens Nytorv ke Christianshavn kami harus mengeklip dua kali untuk dua orang. Tapi dari bandara ke Kongens Nytorv yang 3 zona kami mengeklip 3 kali untuk dua orang.
Lalu kami bertolak dari bandara menuju Indiakaj menggunakan Metro. Salju mulai mencair. Beberapa hari memang tidak turun salju. Tapi kami senang melihat salju yang masih tertinggal di tanah basah. Masalah berikutnya muncul. Dinginnya ga santai. Minus tiga ternyata tidak bisa dilawan dengan properti dari Pasar Pagi Mangga Dua. Syal, kaus tangan polyester, dan sepatu kets saya kurang hangat. Turun di Osteport kami berjalan menuju Indiakaj. Hidung mati rasa. Dingin sudah sedari tadi menusuk kaki. Dan tangan mulai beku. Entah kenapa berjalan melintasi salju, melewati gereja Gustaf dan kastil Kastellet berhasil menghangatkan tubuh. Bisa jadi karena saya terlalu senang.
Siangnya kami berbelanja keperluan musim dingin di Bilka, mall terbesar di Skandinavia. Tidak lebih besar dari PIM 2. Dan benar kata Dyah, properti musim dingin malah lebih murah di Kopenhagen. Saya tidak akan mendapatkan kaus tangan thermal insulated seharga 70 DKK dan sepatu boot Landrover 299 DKK di Jakarta. Di sini ternyata masalah lain datang ketika kami akan membayar. Mall terbesar di Skandinavia itu tidak menerima pecahan Euro! Oke, kami coba dengan kartu kredit. Ternyata mereka hanya menerima kartu kredit dengan chip dan pin. Sapi! Kartu kredit saya baru diganti setengah tahun yang lalu dan chip dan pin tak pernah dipakai karena di Indonesia kartu kredit itu digesek bukan ditancep.
“Can we use debit card?” Tanya kami dengan penuh harap.
“If your card has Visa or Mastercard logo on it.”
Dan ketika mesin EDC itu mengeluarkan struk setelah kami memasukkan pin, saat itulah nyawa kami diselamatkan dari kedinginan oleh kartu debit.
- Visa Selandia Baru - 2016.02.10
- Suatu Hari Aku Akan Bercerita Tentang Perjalanan ini Padamu Meskipun Kamu Tahu Kisahnya - 2016.02.04
- Busker - 2016.01.31