Di Atas Sungai Seine

“Saya berdiri di atas Pont des Arts, Paris. Ada wajah harmonis dari Institut de France, bangunan universitas dari tahun 1670 itu, di sisi sungai Seine. Di seberangnya adalah Louvre, yang dibangun secara berkala dari abad pertengahan sampai abad ke-19: sebuah arsitektur klasik yang paling indah dan  menentramkan. Di hulu terlihat Katedral Notre Dame– yang mungkin bukan katedral yang paling memikat, tapi jelas wajah intelektual yang paling tegas di antara semua karya seni Gotik. […]

Apa itu peradaban? Saya tak tahu. Saya tak dapat menjelaskannya dalam istilah abstrak– belum. Tapi saya pikir saya bisa mengenalinya ketika saya melihatnya: dan saya sedang memandang ke arahnya sekarang”

Kenneth Clark, Civilisation (1969)

Berada di Pont des Arts, di atas gigil sungai Seine, di dinginnya musim salju kota Paris, di antara Institut de France dan Louvre. Di posisi yang mungkin identik dengan tuan Clark. Untuk pertanyaan yang sama, saya sama sekali tak bisa menjawab lebih baik darinya.

Mungkin peradaban adalah sekumpulan manusia yang menciptakan karya-karya seni agung yang kini tersimpan di Louvre, atau rumusan pemahaman suci ciptaan para cendekia dari universitas tua di seberang sungai Seine yang kadung disetujui bersama, atau keadaan ketika semua masyarakat sepakat tidak membuang sampah sembarangan, menyerobot antrian, dan melakukan korupsi.

Saya tidak bisa menjawab lebih baik dari tuan Clark untuk pertanyaan yang sama. Yang saya tahu jika peradaban adalah tubuh, maka kebudayaan adalah akal budinya; kemajuan peradaban berbanding lurus dengan produksi karya seninya.

Dan John Ruskin pernah bilang karya senilah yang paling jujur untuk bercerita tentang masyarakat, tentang peradaban sebuah bangsa, bukan politisi maupun penulis. Ia berkata, “bangsa-bangsa besar menulis biografi mereka dalam tiga manuskrip, kitab yang berisi tentang perbuatan mereka, kitab yang merangkum semua kata-kata mereka, dan kitab tentang karya seni mereka. Tidak ada satu bukupun yang bisa dipahami kecuali kita membaca dua buku lainnya, tapi dari tiga kitab, yang terakhirlah yang paling bisa dipercaya.”

Kita sebenarnya tak pernah kekurangan karya seni, tapi peradaban kita tak kunjung membaik. Mungkin saja tuan Ruskin lupa menambahkan buku keempat sebagai komplemen dari buku ketiga; kitab tentang masyarakat yang menghargai semua hal.


Hari itu saya berada di Pont des Arts, di atas gigil sungai Seine. Melihat ke mana tuan Clark memandang; tepian sungai, Institut de France, Louvre, Notre-Dame. Mungkin saya bisa mengenali peradaban di sana ketika melihatnya. Ah, pikiran tuan Clark terlalu berat atau saya yang tak mampu menggapainya.

Dalam kegagapan, saya mulai memaknai peradaban yang tak semegah apa yang tuan Clark pikirkan. Peradaban Paris sederhana yang dibangun berdasarkan hal-hal kecil; sesederhana sepasang manusia yang sepakat untuk menulisi gembok dengan nama mereka, yang telaten mencari tempat kosong di pagar jembatan untuk mengunci gembok, yang dengan sabar menunggu kapal yang melintas di bawah untuk kemudian melempar kunci ke dasar sungai.

Institute of France dari Pont des Arts

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

You can use markdown, yes that awesome markdown.

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.