Dengan India yang menjadi kekuatan ekonomi terbesar ketujuh di dunia, New Delhi seolah melawan stereotipe dari ibu kota negara kaya. Padahal salah satu kota tertua di dunia ini punya waktu lebih dari cukup untuk menjadikannya kota yang lebih beradab, tapi nyatanya ia tidak juga berhasil mewujudkannya selama 26 abad kota itu berdiri dan sebelas kali ia diluluh lantakkan dan dibangun kembali. New Delhi seperti enggan mengulang sejarah di mana ia dulunya dikenal sebagai Indraprastha, tanah yang dijanjikan dewa untuk para Pandawa. Tanah gersang yang disuburkan oleh Dewa Indra atas permintaan Sri Kresna. Ia yang di bawah Yudistira menjelma menjadi sebuah kota besar yang layak huni.
Datanglah ke New Delhi di musim panas maka kita akan mendapatkan kota yang sesak, bising, carut marut, kotor, dengan kualitas udara yang buruk, ditambah dengan suhu rata-rata di kisaran 35ºC saat siang hari, makanan beraroma kari yang begitu kuat, dan keagresifan penduduknya – dari supir taksi, penjaja oleh-oleh, petugas berseragam, sampai para scammer, datang ke kota ini di musim panas seperti mimpi buruk bagi pejalan dari belahan dunia manapun.
Melihat New Delhi dari dekat seolah membenarkan semua pernyataan itu. Dari berhimpitan dengan kelas menengah, pekerja kantoran, dan pelajar di Metro Delhi, bergelantungan mendengar perdebatan antara laki-laki yang menggerutu dengan wanita separuh baya yang meminta hak tempat duduk bagi perempuan dalam bus kota, diturunkan jauh dari tujuan oleh scammer berkedok supir taksi setelah rencana penipuannya gagal, sampai bertemu dengan tukang bajaj yang mencoba meyakinkan bahwa Red Fort ditutup karena demonstrasi agar ia mendapat komisi dari tour dalam kota.
Tapi mungkin itulah yang membuat kota ini menarik. Mungkin saja ada bagian dalam diri para pejalan yang memang senang menderita, semacam masochist-traveler. Atau faktor bahwa eksotisme India memang tidak bisa dipungkiri mampu mengalahkan semua daftar keburukan itu, pada warna-warni kain sari, pada kaligrafi di dinding Qutb Minar, pada kemegahan Red Fort dan India Gate, pada made-up stories tukang tuk-tuk, pada warisan kepercayaan diri dari Gandhi, pada absurditas kehidupan masyarakatnya, dan pada orang-orang baik yang akhirnya kami temui. Dan bagi saya, hal-hal inilah yang menyuburkan New Delhi, tanah gersang Indraprastha.
Delhi seolah mau menunjukkan bahwa tiap tempat, setiap tujuan, akan meninggalkan sesuatu di suatu sudut dalam kotak kenangan para pejalan. Ia tak mau dibandingkan. Ia tak hendak disandingkan dengan kota-kota paling layak huni seperti Kopenhagen, Wina atau Melbourne. Ia adalah Indraprastha, tanah gersang yang mencoba menyuburkan dirinya sendiri.
[yinstagram hashtags=”#travelishpost4delhi”]
- Visa Selandia Baru - 2016.02.10
- Suatu Hari Aku Akan Bercerita Tentang Perjalanan ini Padamu Meskipun Kamu Tahu Kisahnya - 2016.02.04
- Busker - 2016.01.31