Membaca Murakami

Murakami Fan

Apa yang membuatmu membaca sebuah buku? Review, sinopsis, deretan penghargaan, kontroversi, genre, pengarang, film, opini sahabat, atau cover yang menarik? Saya sendiri adalah tipe pembaca yang bisa memilih buku untuk dibaca karena salah satu faktor di atas. Demikian juga ketika saya pertama kali membaca karya Haruki Murakami enam tahun yang lalu pada enam jam di atas kapal feri dari Padang Bai menuju Lembar. Saya memilih Kafka On The Shore dari rak di sebuah toko buku di lantai dasar Mal Malioboro karena desain cover-nya menarik.

Pada perjumpaan pertama dengan penulis Jepang ini saya dengan mudah terjerat oleh sihir Murakami dengan segala paradoksnya. Penyuka Dan Brown akan mudah bosan karena gaya Murakami bercerita yang lambat, pasif, dan kekurangan ketegangan meskipun saya seringkali mengira plot yang berserakan dengan tidak jelas itu seolah dibangun untuk sebuah suspense. Seakan-akan saya terlibat dalam sebuah desain besar yang maha penting, padahal clueless di saat yang sama.

Ada sesuatu yang menarik saya demikian dalam pada gaya menulis Murakami yang sering mengangkat tema tentang hal-hal sepele, kejadian sehari-hari yang membosankan, keputusan yang buruk, masa lalu, dan kehilangan. Layaknya derasnya arus bawah pada laut yang tenang, saya melahap ratusan halaman seperti kesetanan. Ia tak tertahankan.

Tak jarang ia merayakan itu semua dengan surealisme, seperti yang ia lakukan dalam Kafka On The Shore atau The Wind-Up Bird Chronicle. Lain dengan surealisme Seno Gumira atau Agus Noor dalam beberapa cerpennya, gaya Murakami punya perbedaan yang cukup menarik. Jika surealisme Sukab yang memotong senja seukuran kartu pos membuatnya berjarak dengan dunia, maka keanehan Nakata seolah adalah  kenyataan yang dekat sekali dengan kita, sejanggal apapun itu.

Pun menyisipkan sesuatu yang puitis pada hal yang menyedihkan. Pada Norwegian Wood, atau novel tipis South of the Border, West of the Sun, ia menyulap masa lalu dan kehilangan menjadi sesuatu yang indah. Ia dengan cantik menerjemahkan kekosongan yang tak berujung pada Toru dan Naoko, atau Hajime dan Shimamoto ketika dongeng cinta mereka sudah berakhir.

“The sad truth is that certain types of things can’t go backward. Once they start going forward, no matter what you do, they can’t go back the way they were. If even one little thing goes awry, then that’s how it will stay forever.”

Murakami adalah penyihir benda-benda mati, hari-hari yang menjemukan, keputusan-keputusan salah, jalan buntu, parkiran yang kosong, kenyataan yang menyedihkan, cinta yang menyakitkan, dan tentu saja kehilangan.  Bagi saya, membaca Murakami adalah memaknai kehilangan.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

You can use markdown, yes that awesome markdown.

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.