Harta Karun di Belakang Rumah

Seperti kisah Santiago yang mencari harta karun dari Spanyol sampai Mesir, untuk mendapatinya di rumahnya sendiri, barangkali seperti itulah nasib orang yang mencari. Nasib yang juga menimpa para pejalan. Mungkin juga hal yang sama berlaku pada para pelancong, turis, atau traveler. 

Mereka yang melangkahkan kaki ke negeri-negeri jauh, bertemu dengan orang-orang asing, hanya untuk menemukan apa yang selama ini mereka rindukan di halaman belakang rumahnya. Kisah bocah penggembala domba dari Andalusia itu dengan cantik memberikan sebuah apologi tentang apa yang orang lain anggap sebuah kesia-siaan dalam sebuah pencarian.

Barangkali itu yang kami rasakan, sebagai penduduk ber-KTP Yogyakarta, ketika mendapati Borobudur yang cuma selemparan celana kolor dari rumah kami di waktu yang tak biasa: sebelum fajar, dan tengah malam.

punthuk-setumbu
Punthuk Setumbu

Borobudur, tentunya bersama Prambanan, Ratu Boko, dan Malioboro adalah ikon-ikon yang meskipun dua candi yang disebut pertama itu tak terletak di propinsi DIY, mau tak mau tak bisa lepas dari nama Yogyakarta. Tapi buat kami ikon-ikon itu telah menjadi biasa dan tak menarik. Tak ada yang salah ketika hal-hal yang terus-menerus kami lihat dan dengar berangsur-angsur menjadi tak istimewa. Ia tak lagi kami rindukan. Mungkin memang benar jika manusia selalu merindukan sesuatu yang tak hadir; seperti salju, aurora, atau gurun bagi manusia tropis.

Atau barangkali pula itu menjadi pembenaran bagi kami untuk menjelajahi setengah bumi hanya untuk kembali merindukannya, karena nyatanya hanya butuh malam Waisak yang tak sempurna dan pagi buta di bukit Punthuk Setumbu untuk membuat kami kembali merindukan Borobudur; harta karun di belakang rumah kami.

borobudur-waisak
Waisak

One thought on “Harta Karun di Belakang Rumah

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

You can use markdown, yes that awesome markdown.

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.